Pada
60.000 tahun yang lalu ketika permukaan air laut menurun 50 meter dari kondisi
saat ini, para pemburu mengumpulkan makanan, Ras Australo-Melanesia yang
berkulit hitam dari daratan sunda (Paparan
Sunda) entah bagaiman caranya menyeberangi dan memasuki pulau-pulau di Wallacea
dan mencapai daratan Sahul (Paparan Sahul), (Read, 2005:18-19).
Menurut
Arkeolog dari Universitas Nasional Australia yaitu Matthew Spring dalam M Adnan
Amal mengatakan bahwa Maluku telah di diami manusia purba sejak Zaman es
(Pleastocene) 30.000 tahun yang lalu. Ketika itu, Maluku merupakan kawasan
kritis menjadi mata rantai penghubung antara kawasan Pasifik dan Asia Tenggara.
Menurut sejumlah sarjana, kawasan ini memiliki peranan penting dalam masa
prasejarah. Merupakan daerah lintasan strategi bagi perpindahan penduduk Asia
Tenggara ke Paparan Sahul, (Amal,2001:1).
Richar
Shutler Jr dalam M Adnan Amal mengatakan bahwa pulau-pulau terbesar di Maluku
merupakan kunci untuk menetapkan lokasi temuan asal penduduk yang berbahasa
Austronesia, (Amal,2001:1). Penduduuk pertama Pulau-pulau Maluku seperti halnya
di Nusantara adalah ras Austromelanesoid dan Mongoloid yang datang dari Asia
tenggara. Austromelanesoid bermukim terbesar di Maluku dan terisolasi
(Halmahera Utara) satu rumpun atau golongan dengan berbahsa Austronesia (bahasa
Papua dan kepulauan Pasifik), (Amal,2001:2).
Sekitar
3.000 tahun SM, dalam sejarah Indonesia terdapat kemunculan para pelaut dari
ras Mongol yang berasal dari Formosa (Taiwan) yang melakukan perjalanan ke
selatan, yang terpenting mereka memperkenalkan bahasa Austronesia dan terpecah
menjadi 40 bahasa, (Read,2008:20). Orang Melayu kemudian datang dari Asia
tenggara yang sering dikenal dengan Zaman tembikar, datang dengan dua golongan,
yang pertama golongan Proto Melayu dan golongan yang kedua Deutro Melayu,
(Amal,2001:3). Proto Melayu terdesak dan menyingkir ke daerah pedalaman dan
membentuk komunitas terpencil (Alefuru) lajim mendiami tepian danau dan hulu
atau tepian sungai. Deutro Melayu menetap pada pesisir-pesisir pantai, seperti
perkampung Ufung, Air Bulan, Natang Kuning, Padang dan Ruma Ampa, perkampungan
ini terletak di pedalaman Pulau Taliabu sekitar 2-3 km dari pantai. Letak
perkampungan ini mendiami tepian sungai-sungai besar. Sedangkan perkampungan
yang terletak di pesisir pantai seperti parkampung Nunca.
Dalam
hasil wawancara dengan Yance Kimlaha, mengatakan bahwa zaman batu di Taliabu
bagi Suku Mange dikenal dengan Ngaha atau batu yang digunakan sebagai alat pemotong
atau Peda (parang), (Yance kimlaha, Bakiki, 14/12/2009). Sedangkan tembikar
atau guci-guci yang lagi marak di sebut barang antik bertaburan dan tertutup
tanah di pesisir utara sampai pesisir barat Pulau Taliabu yang merupakan
bukti-bukti arkeologi. Jauh sebelum Kerajaaan Ternate menyebarkan pengaruhnya
di wilayah ini, Taliabu masih di bawah komando Sanana, pada waktu itu Perdana
Mentri bergelar “Matuwo Suwo” sekaligus bertindak sebagai Panglima Perang.
Sistem pemerintahan ini meliput Taliabu, Mangoli dan Sanana.
Pada
tahun 1350, Kolano Macahaya memiliki persahabatan dengan orang-orang Arab,
dengan persahabatan yang baik dan ramah sehingga memperoleh pengetahuan
navigasi. Dengan ini Kolano Macahaya berlayar ke Sula-Taliabu dan akhirnya
ditaklukan serta menempatkan salah satu dari ketiga anaknya, yakni Hamid
sebagai penguasa di kepulauan Sula-Taliabu, (Amal,2002:159).
Sebelum ditaklukan, satuan-satuan tempur yang diperkuat oleh armada-armada yang merupakan satuan tempur Kolano Macahaya yang sangat terampil, berani dan terorganisir yang baik, karena telah berhasil menduduki ketiga pulau tersebut. Gertak meju armada yang dipimpin Kolano Macahaya tak dapat dibendung oleh satan-satuan pengawas pantai Kerajaan Sanana. Dalam pertempuran yang kurang berarti tersebut, Sang Matuwo Suwo mati terbunuh dan kedudukan Matuwo Suwo digantikaan oleh adiknya yaitu Egolhanaka.
Sebelum ditaklukan, satuan-satuan tempur yang diperkuat oleh armada-armada yang merupakan satuan tempur Kolano Macahaya yang sangat terampil, berani dan terorganisir yang baik, karena telah berhasil menduduki ketiga pulau tersebut. Gertak meju armada yang dipimpin Kolano Macahaya tak dapat dibendung oleh satan-satuan pengawas pantai Kerajaan Sanana. Dalam pertempuran yang kurang berarti tersebut, Sang Matuwo Suwo mati terbunuh dan kedudukan Matuwo Suwo digantikaan oleh adiknya yaitu Egolhanaka.
Dua
tahun setelah penobatan Zainal Abidin sebagai Sultan Ternate yang pertama,
yakni pada tahun 1495. Zainal Abidin mengangkat kepala keluarga Tomaito sebagai
Salahakan di Kepulauan Sula. Pada tahun 1580. Sultan Babullah memerintahkan
Kapita kapalayai memimpin lima juangga untuk mensterilkan Kepulauan Sula dan
diperintahkan untuk mengambil alih kampung-kampung bahkan sampai di pulau-pulau
Timur Sulawesi, Banggai, Tobungku, Pangasain serta terjadi perlawana di Buton,
(Amal,2002:209).
Di
masa Kesultanan Hamzah, yakni pada tahun 1631 armada Ali tiba di Sula. Di
daerah-daerah yang tidak memiliki pemerinthan atau penguasa lokal, Sultan Hamza
mengirimkan wakilnya sebagai kepala pemerintahan yang di sebut Salahakan. Di
daerah-daerah ini Sultan menjalankan pemerintahannya secara lansung. Salahakan
merupakan pemerintahan lokal yang berkedudukan di Sanana, yang menjalankan
titah-titah Sultan dan dibantu Sangaji dan Kimalaha di Taliabu, (Amal,2002:37).
Pada tanggal 15 Februari 1804 terjadi perampokan dan pemberontakan di kepulauan Sula-Taliabu yang dilakukan beberapa Juangga Tobelo. Pemerintahan Belanda menyampaikan nota protes kepada kesultanan Tidore dan memerintahkan mengambil tindakan dengan mengambil pelaku ke Tidore dan memberikaan hukuman. Tanggal 20 Februari 1804, surat balasan dari Sultan Nuku bahwa tidak tahu menahu dengan persoalan ini. Yang memberontak ialah Kapita Lau Maba dari Tobelo, (Amal dan Djafar,2003:223). Dengan hasil wawancara, Palele atau Paitua Nei mengatakan kapal Kapita Lau berjumlah 15 dan satu bulan tiga kali datang ke Taliabu. Pemberontakan yang di lakukan oleh Kapita Lau setelah tiba dari Buton dengan membawa sandraan perang dan beristirahat di Salu (salah satu desa di Taliabu Utara yang sekarang dikenal dengan Desa Sahu). Pada saat malam hari Kaapita Lau tertidur, semua sandraan terlepas, sandraan berjumlah 40 0rang perempuan dan 4 orang laki-laki. Keesokan harinya terjadi perlawanan antara para tawanan dan pasukan Kapita Lau di salah satu wilayah yang sekarang di kenal dengan Desa Tikong, (Palele/Paitua Nei, Air Bulan,21/12/2009).
Pada tanggal 17 Maret 1824, Traktat London disepakati oleh Ingris dan Belanda untu mencegah terjadinya konflik antara kedua negara di Malaka. Dalam Traktat London, ruang lingkup Kerajaan Inggris hanya mencapai semenanjung Malayu, Kepulauan Maluku dan semua kelompok pulau yang terletak antara Sulawesi, Papua, Timur kapal-kapal Inggris hanya bisa singgah pada pulau yang di tentukan, sepeti Taliabu, (Amal dan Djafar,2003:239). Dengan hasil wawancara, Palele atau Paitua Nei mengatakan bahwa kampung bernama London yang dibuat orang Inggris yang sekarang disebut Gela (Ibu kota kecamatan Taliabu Utara), dulunya ada patung yang dibagun di bagian belakang kampung entah bagai mana sudah tidak ada lagi. Salah satu sumbangsih bangsa Inggris yang masih berbekas yaitu bahasa yang selalu di pakai oleh Orang Mange, Banana artinya Pisang dan Sugar yang artinga Gula, (Palele/Paitua Nei, Air Bulan,21/12/2009). Sedangkan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa asli di dalam komunitasnya, sedangkan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan masyarakat yang bukan asli atau masyarakat pendatang digunakan bahasa indonesia, tetapi berdialek yang disebabkan oleh bahasa asli.
Pada tanggal 15 Februari 1804 terjadi perampokan dan pemberontakan di kepulauan Sula-Taliabu yang dilakukan beberapa Juangga Tobelo. Pemerintahan Belanda menyampaikan nota protes kepada kesultanan Tidore dan memerintahkan mengambil tindakan dengan mengambil pelaku ke Tidore dan memberikaan hukuman. Tanggal 20 Februari 1804, surat balasan dari Sultan Nuku bahwa tidak tahu menahu dengan persoalan ini. Yang memberontak ialah Kapita Lau Maba dari Tobelo, (Amal dan Djafar,2003:223). Dengan hasil wawancara, Palele atau Paitua Nei mengatakan kapal Kapita Lau berjumlah 15 dan satu bulan tiga kali datang ke Taliabu. Pemberontakan yang di lakukan oleh Kapita Lau setelah tiba dari Buton dengan membawa sandraan perang dan beristirahat di Salu (salah satu desa di Taliabu Utara yang sekarang dikenal dengan Desa Sahu). Pada saat malam hari Kaapita Lau tertidur, semua sandraan terlepas, sandraan berjumlah 40 0rang perempuan dan 4 orang laki-laki. Keesokan harinya terjadi perlawanan antara para tawanan dan pasukan Kapita Lau di salah satu wilayah yang sekarang di kenal dengan Desa Tikong, (Palele/Paitua Nei, Air Bulan,21/12/2009).
Pada tanggal 17 Maret 1824, Traktat London disepakati oleh Ingris dan Belanda untu mencegah terjadinya konflik antara kedua negara di Malaka. Dalam Traktat London, ruang lingkup Kerajaan Inggris hanya mencapai semenanjung Malayu, Kepulauan Maluku dan semua kelompok pulau yang terletak antara Sulawesi, Papua, Timur kapal-kapal Inggris hanya bisa singgah pada pulau yang di tentukan, sepeti Taliabu, (Amal dan Djafar,2003:239). Dengan hasil wawancara, Palele atau Paitua Nei mengatakan bahwa kampung bernama London yang dibuat orang Inggris yang sekarang disebut Gela (Ibu kota kecamatan Taliabu Utara), dulunya ada patung yang dibagun di bagian belakang kampung entah bagai mana sudah tidak ada lagi. Salah satu sumbangsih bangsa Inggris yang masih berbekas yaitu bahasa yang selalu di pakai oleh Orang Mange, Banana artinya Pisang dan Sugar yang artinga Gula, (Palele/Paitua Nei, Air Bulan,21/12/2009). Sedangkan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa asli di dalam komunitasnya, sedangkan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan masyarakat yang bukan asli atau masyarakat pendatang digunakan bahasa indonesia, tetapi berdialek yang disebabkan oleh bahasa asli.
Masuknya Belanda pada tahun 1909, maka Kepulauan Sula dijadikan Order Afdeeing dengan kepala pemerintahannya disebut Controler dan berkedudukan di Sanana. Berdirinya Onder Afdeeling dengan sendirinya mengakhiri kekuasaan Salahakan beserta Sangaji-Sangaji. Belanda kemudian membangun distrik-distrik yang diantaranya Distrik Sanana, Distrik Pas Ipa (Mangoli), Distrik Kawalo (Taliabu). Untuk mempertahankan Distrik, Belanda membuat Benteng yang disebut Benteng Kawalo. Benteng Kawalo berada di tepi danau Lekitobi dan berada pada ketinggian kurang leih 50 meter. Keadaan benteng tinggal pondasi yang tersisa dan sebagian sudah berubah menjadi semak belukar. Menurut Camat Taliabu Barat, dahulu terdapat beberapa bangunan dan kuburan di lokasi benteng. Pada bagian bawah di pinggir danau terdapat tinggalan 2 buah meriam, dengan panjang sekitar 70-80 cm.
Dalam
hasil wawancara dengan Pak Bunga Harun Kimlaha mengatakan bahwa dalam komunitas
Suku Mange nama Taliabu terdirri atas kata Ta Lia Bu. Ta yang artinya Tarnate,
Lia yang artinya tali atau pengikat dan Bu yang artinya Buton. Sehingga Taliabu
dimaknai sebagai pertalian antara Ternate dan Buton, (Pak. Bunga Harung
Kimlaha, Padang Tenga, 20/12/2009). Sedangkan nama dari Suku Mange, Mange
diartikan sebagai sebagai orang atau masyarakat yang tidak mengenal pri
kemanusiaan dan tidak tahu apa-apa (alefuru). Dalam tinjau histori kehidupan
Masyarakat Mange pada zaman dahulu mereka saling membunuh, apalagi bertemu
dengan orang yang mereka tidak kenal atau orang baru, itu dianggap sebagai
musuh yang menganggu, (Yance Kimlaha, Bakiki, 14/12/2009)
Sumber: www.helika-taliabu.bogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar