Masyarakat Maluku Utara telah melakukan ritual 5 tahunan untuk memilih
pemimpinnya, tepat pada tanggal 1 Juli 2013 kemarin, hajatan KPU ini
berlangsung AMAN namun kurang JUJUR (bukan TIDAK JUJUR), begitulah
anggapan sebagian besar suara-suara yang muncul pasca pemilihan dan
perhitungan suara yang dilakukan di 2.147 TPS yang tersebar di Jazirah
Moloku Kieraha oleh masing-masing kandidat.
Sudah menjadi rahasia umum, pada semua disetiap hajatan pemilu, issue
yang berhembus paling kencang bagai angin tornado ini adalah politk uang
(money politic), mulai dari tahapan perebutan “kapal” untuk
kendaraan menuju kekuasaan sampai pada hari terakhir pencoblosan, issue
politik uang paling kencang hembusannya. Tak pelak, masyarakat (kecuali
saya) pun berharap kesempatan ini juga dinikmatinya. Istilah “serangan
fajar” yang entah sejak kapan frasa itu mulai digunakan, merupakan
sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh sebagian pemilik suara, masyarakat
tidak peduli dengan nasib daerah selama kepemimpinan berlangsung karna
toh disetiap pergantian kepemimpinan, tidaklah berpengaruh terhadap
kehidupan masyarakat itu sendiri (kesejahteraan), malah sebaliknya
pengaruhnya cukup dahsyat terhadap kehidupan penguasa dan orang-orang
disekelilingnya. Jadi tidak-lah mengherankan bila pada saat tahapan
sampai dengan hari H pemilihan, masyarakat akan selalu berharap adanya
“serangan fajar” dari calon penguasa.
Untuk PilGub Maluku Utara sendiri, yang mana di ikuti oleh 6 (enam)
kandidat yakni (1) Namto Hui Roba-Ismail Arifin (NHR-Ia) menggunakan
“kapal” PDIP;, (2) Muhajir Albaar-Sahrin Hamin (MS) Muhajir dengan
“kapal” mewah Demokrat;, (3) Ahmad Hidayat Mus-Hasan Doa (AHM-DOA)
tunggangi “kapal” kuning Golkar; (4) Syamsir Andili-Benny Laos (SABEL)
difasilitasi “kapal” Gerindra;, (5) Abdul Gani Kasuba-Natsir Thaib
(AGK-Manthab) dengan “kapal” putih PKS;, dan (6) Hein Namotemo-Malik
Ibrahim (HM) tidak kebagian “kapal” namun menggukan jalur spesial yang
tidak perlu dengan “kapal” yakni Indepen.
Ke-enam kandidat inipun bertarung menuju singgasana kekuasaan dengan
mengorbankan materi yang tidak sedikit. Aturan-aturan yang telah
disepakati bersama pun dengan sengaja ditabrak demi prestise kekuasaan,
tidak peduli dengan aturan yang telah dibuat oleh manusia, aturan yang
dibuat oleh pemilik Alam Raya ini-pun ditabrak, asalkan yang diinginkan
tercapai. Uang menjadi “tuhan” dalam ritual 5 tahunan ini, para kandidat
yang berkantong koper selalu merasa yang paling hebat, karna semuanya
bisa dikendalikan dengan Uang, karna kenyataannya masyarakat pun
menengadahkan tangan kepada calon penguasa untuk mendapatkan selembar
rupiah dengan imbalan suaranya untuk calon penguasa tersebut.
Maka tak mengherankan pasca pencoblosan kemarin, suara-suara yang
menantang politk uang mulai bermuculan mengatasnamakan rakyat, yang
entah rakyat yang mana yang mereka wakili. Karna kenyataannya rakyat
juga yang menginginkan rupiah-rupiah itu dari calon penguasa. Mereka
yang menentang politik uang ini adalah bagian dari pendukung calon lain
yang mengatasnamakan rakyat, yang mungkin secara hitung-hitungan politik
calon yang mereka dukung sudah pasti kalah dalam pertarungan lima
tahunan ini, sehingga perlu bersuara lantang terhadap politik uang yang
diindikasikan dilakukan oleh Calon dengan “kapal” kuning-nya.
Bahkan ada suara-suara yang mengatakan “bila AHM jadi Gubernur, maka
Kerusuhan Maluku Utara Jilid ke-2 akan pecah”. Ungkapan ini lebih kepada
kekesalan masyarakat yang sudah muak dengan praktek-praktek tidak
bersih untuk meraih kekuasaan, jadi mungkin ini bisa menjadi perenungan
bagi setiap calon pemimpin hendaklah menggunakan cara-cara bersih dan
memberikan pendidikan politik yang baik kerpada masyarakat, sehingga
terlahir kepemimpinan yang bermartabat.
DAMAI MALUKU UTARA..
Sumber : http://politik.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar