Jumat, 25 Januari 2013

Mahasiswa Tuntut Perusahaan Tambang di Taliabu Ditutup

Liputan6.com, Makassar : Puluhan mahasiswa asal Maluku Utara berunjuk rasa di bawah jembatan layang Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka yang tergabung dalam Solidaritas untuk Keadilan Masyarakat Taliabu ini menuntut perusahaan tambang di Kepulauan Taliabu, Maluku Utara, ditutup. Perusahaan itu dianggap tidak pro-rakyat.

Demonstran mendesak Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan pemerintah pusat menutup tambang milik perusahaan Adidaya Tangguh tersebut.

Selain itu, aksi mahasiswa juga diwarnai pembakaran ban bekas. Mereka mendesak Kepolisian Sektor Bobong membebaskan 3 warga Pulau Kaliabu yang berunjuk rasa menuntut tanahnya segera dibebaskan.

Mahasiswa yang berdemo juga meminta dan mendesak anggota DPRD Kepulauan Taliabu segera menyelesaikan kasus penggusuran lahan perkebunan warga. Diduga penggusuran itu dilakukan perusahaan tambang Adidaya Tangguh.

Aksi pengunjuk rasa berjalan lancar dan aman meski tanpa pengawalan ketat dari polisi. Usai menyampaikan tuntutan, puluhan mahasiswa Maluku Utara membubarkan diri dengan tertib.(Ais)

Ratusan Mahasiswa Maluku Demo

Ratusan Mahasiswa Maluku Demo

MAKASSAR, UPEKS--Ratusan mahasiswa asal Maluku yang tergabung dalam Solidaritas Untuk Keadilan Masyarakat Taliabu (Sukma), Maluku menggelar aksi demonstrasi, di Fly Over, Jl Urip Sumoharjo Makassar, Kamis (24/1).
Demikian diutarakan, Mustakim Ladee SH, Jenderal Lapangan aksi Sukma. Katanya, demonstrasi ini merupakan aksi damai, sekaligus sebagai bentuk kepeduliannya terhadap pulau taliabu maluku utara.
Pihaknya, kecewa akan kebijakan pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, tidak memberikan lagi kesejahteraan terhadap rakyatnya. Kehadiran tambang di Pulau Taliabu yang seharusnya memberikan kesejahteraan masyarakat Taliabu, ternyata berbanding terbalik dengan realita yang terjadi, di mana tanah masyarakat digusur dengan paksa dengan pihak investor tambang tampa ada pembicaraan lebih dulu. Ironisnya, tanah mereka yang digusur tidak mendapatkan ganti rugi dari pihak investor tambang.
Pihaknya juga menyayangkan, instansi tempat masyarakat berlindung ternyata berpihak terhadap investor tambang. Berkisar 27 warga yang menuntuk haknya terkait penggusuran berujung dibalik teruji bersi (Penjara), “Seharusnya tempat bernaung masyarakat, menegakkan keadilan terhadap masyarakat,” tururnya.
Dalam hal ini, beberapa mahasiswa yang tergabung dalm Sukma merupakan gabungan dari OKP, OKM, dan Organda, yakni, Forum Aspirasi Masyarakat Halmahera (Forasmata), Himpunan Pelajar Mahasiswa Taliabu (HPMT), Penggiat alam bebas Indonesia Taliabu (GABI_Taliabu), Bursa idiologi (BI), Perhimpunan pelajar mahasiswa halmahera utara (Hipmahalut), Front mahasiswa seram bagian timur (Formaserbati), Ikatan pelajar mahasiswa halmahera (IPMKT), Himpunan pelajar mahasiswa morotai (Hipma Morotai), Himpunan pelajar mahasiswa halmahera tengah (HPMHT), dalam Himpunan pelajar mahasiswa halmahera selatan (Hipma Halsel).(mg17/yok)

Kamis, 24 Januari 2013

SEJARAH SINGKAT TALIABU

Suku Asli Taliabu adalah Suku MANGE



Pada 60.000 tahun yang lalu ketika permukaan air laut menurun 50 meter dari kondisi saat ini, para pemburu mengumpulkan makanan, Ras Australo-Melanesia yang berkulit hitam dari daratan sunda (Paparan Sunda) entah bagaiman caranya menyeberangi dan memasuki pulau-pulau di Wallacea dan mencapai daratan Sahul (Paparan Sahul), (Read, 2005:18-19).
Menurut Arkeolog dari Universitas Nasional Australia yaitu Matthew Spring dalam M Adnan Amal mengatakan bahwa Maluku telah di diami manusia purba sejak Zaman es (Pleastocene) 30.000 tahun yang lalu. Ketika itu, Maluku merupakan kawasan kritis menjadi mata rantai penghubung antara kawasan Pasifik dan Asia Tenggara. Menurut sejumlah sarjana, kawasan ini memiliki peranan penting dalam masa prasejarah. Merupakan daerah lintasan strategi bagi perpindahan penduduk Asia Tenggara ke Paparan Sahul, (Amal,2001:1).
Richar Shutler Jr dalam M Adnan Amal mengatakan bahwa pulau-pulau terbesar di Maluku merupakan kunci untuk menetapkan lokasi temuan asal penduduk yang berbahasa Austronesia, (Amal,2001:1). Penduduuk pertama Pulau-pulau Maluku seperti halnya di Nusantara adalah ras Austromelanesoid dan Mongoloid yang datang dari Asia tenggara. Austromelanesoid bermukim terbesar di Maluku dan terisolasi (Halmahera Utara) satu rumpun atau golongan dengan berbahsa Austronesia (bahasa Papua dan kepulauan Pasifik), (Amal,2001:2).
Sekitar 3.000 tahun SM, dalam sejarah Indonesia terdapat kemunculan para pelaut dari ras Mongol yang berasal dari Formosa (Taiwan) yang melakukan perjalanan ke selatan, yang terpenting mereka memperkenalkan bahasa Austronesia dan terpecah menjadi 40 bahasa, (Read,2008:20). Orang Melayu kemudian datang dari Asia tenggara yang sering dikenal dengan Zaman tembikar, datang dengan dua golongan, yang pertama golongan Proto Melayu dan golongan yang kedua Deutro Melayu, (Amal,2001:3). Proto Melayu terdesak dan menyingkir ke daerah pedalaman dan membentuk komunitas terpencil (Alefuru) lajim mendiami tepian danau dan hulu atau tepian sungai. Deutro Melayu menetap pada pesisir-pesisir pantai, seperti perkampung Ufung, Air Bulan, Natang Kuning, Padang dan Ruma Ampa, perkampungan ini terletak di pedalaman Pulau Taliabu sekitar 2-3 km dari pantai. Letak perkampungan ini mendiami tepian sungai-sungai besar. Sedangkan perkampungan yang terletak di pesisir pantai seperti parkampung Nunca.
Dalam hasil wawancara dengan Yance Kimlaha, mengatakan bahwa zaman batu di Taliabu bagi Suku Mange dikenal dengan Ngaha atau batu yang digunakan sebagai alat pemotong atau Peda (parang), (Yance kimlaha, Bakiki, 14/12/2009). Sedangkan tembikar atau guci-guci yang lagi marak di sebut barang antik bertaburan dan tertutup tanah di pesisir utara sampai pesisir barat Pulau Taliabu yang merupakan bukti-bukti arkeologi. Jauh sebelum Kerajaaan Ternate menyebarkan pengaruhnya di wilayah ini, Taliabu masih di bawah komando Sanana, pada waktu itu Perdana Mentri bergelar “Matuwo Suwo” sekaligus bertindak sebagai Panglima Perang. Sistem pemerintahan ini meliput Taliabu, Mangoli dan Sanana.
Pada tahun 1350, Kolano Macahaya memiliki persahabatan dengan orang-orang Arab, dengan persahabatan yang baik dan ramah sehingga memperoleh pengetahuan navigasi. Dengan ini Kolano Macahaya berlayar ke Sula-Taliabu dan akhirnya ditaklukan serta menempatkan salah satu dari ketiga anaknya, yakni Hamid sebagai penguasa di kepulauan Sula-Taliabu, (Amal,2002:159).

Sebelum ditaklukan, satuan-satuan tempur yang diperkuat oleh armada-armada yang merupakan satuan tempur Kolano Macahaya yang sangat terampil, berani dan terorganisir yang baik, karena telah berhasil menduduki ketiga pulau tersebut. Gertak meju armada yang dipimpin Kolano Macahaya tak dapat dibendung oleh satan-satuan pengawas pantai Kerajaan Sanana. Dalam pertempuran yang kurang berarti tersebut, Sang Matuwo Suwo mati terbunuh dan kedudukan Matuwo Suwo digantikaan oleh adiknya yaitu Egolhanaka.
Dua tahun setelah penobatan Zainal Abidin sebagai Sultan Ternate yang pertama, yakni pada tahun 1495. Zainal Abidin mengangkat kepala keluarga Tomaito sebagai Salahakan di Kepulauan Sula. Pada tahun 1580. Sultan Babullah memerintahkan Kapita kapalayai memimpin lima juangga untuk mensterilkan Kepulauan Sula dan diperintahkan untuk mengambil alih kampung-kampung bahkan sampai di pulau-pulau Timur Sulawesi, Banggai, Tobungku, Pangasain serta terjadi perlawana di Buton, (Amal,2002:209).
Di masa Kesultanan Hamzah, yakni pada tahun 1631 armada Ali tiba di Sula. Di daerah-daerah yang tidak memiliki pemerinthan atau penguasa lokal, Sultan Hamza mengirimkan wakilnya sebagai kepala pemerintahan yang di sebut Salahakan. Di daerah-daerah ini Sultan menjalankan pemerintahannya secara lansung. Salahakan merupakan pemerintahan lokal yang berkedudukan di Sanana, yang menjalankan titah-titah Sultan dan dibantu Sangaji dan Kimalaha di Taliabu, (Amal,2002:37).

Pada tanggal 15 Februari 1804 terjadi perampokan dan pemberontakan di kepulauan Sula-Taliabu yang dilakukan beberapa Juangga Tobelo. Pemerintahan Belanda menyampaikan nota protes kepada kesultanan Tidore dan memerintahkan mengambil tindakan dengan mengambil pelaku ke Tidore dan memberikaan hukuman. Tanggal 20 Februari 1804, surat balasan dari Sultan Nuku bahwa tidak tahu menahu dengan persoalan ini. Yang memberontak ialah Kapita Lau Maba dari Tobelo, (Amal dan Djafar,2003:223). Dengan hasil wawancara, Palele atau Paitua Nei mengatakan kapal Kapita Lau berjumlah 15 dan satu bulan tiga kali datang ke Taliabu. Pemberontakan yang di lakukan oleh Kapita Lau setelah tiba dari Buton dengan membawa sandraan perang dan beristirahat di Salu (salah satu desa di Taliabu Utara yang sekarang dikenal dengan Desa Sahu). Pada saat malam hari Kaapita Lau tertidur, semua sandraan terlepas, sandraan berjumlah 40 0rang perempuan dan 4 orang laki-laki. Keesokan harinya terjadi perlawanan antara para tawanan dan pasukan Kapita Lau di salah satu wilayah yang sekarang di kenal dengan Desa Tikong, (Palele/Paitua Nei, Air Bulan,21/12/2009).

Pada tanggal 17 Maret 1824, Traktat London disepakati oleh Ingris dan Belanda untu mencegah terjadinya konflik antara kedua negara di Malaka. Dalam Traktat London, ruang lingkup Kerajaan Inggris hanya mencapai semenanjung Malayu, Kepulauan Maluku dan semua kelompok pulau yang terletak antara Sulawesi, Papua, Timur kapal-kapal Inggris hanya bisa singgah pada pulau yang di tentukan, sepeti Taliabu, (Amal dan Djafar,2003:239). Dengan hasil wawancara, Palele atau Paitua Nei mengatakan bahwa kampung bernama London yang dibuat orang Inggris yang sekarang disebut Gela (Ibu kota kecamatan Taliabu Utara), dulunya ada patung yang dibagun di bagian belakang kampung entah bagai mana sudah tidak ada lagi. Salah satu sumbangsih bangsa Inggris yang masih berbekas yaitu bahasa yang selalu di pakai oleh Orang Mange, Banana artinya Pisang dan Sugar yang artinga Gula, (Palele/Paitua Nei, Air Bulan,21/12/2009). Sedangkan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa asli di dalam komunitasnya, sedangkan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan masyarakat yang bukan asli atau masyarakat pendatang digunakan bahasa indonesia, tetapi berdialek yang disebabkan oleh bahasa asli.

Masuknya Belanda pada tahun 1909, maka Kepulauan Sula dijadikan Order Afdeeing dengan kepala pemerintahannya disebut Controler dan berkedudukan di Sanana. Berdirinya Onder Afdeeling dengan sendirinya mengakhiri kekuasaan Salahakan beserta Sangaji-Sangaji. Belanda kemudian membangun distrik-distrik yang diantaranya Distrik Sanana, Distrik Pas Ipa (Mangoli), Distrik Kawalo (Taliabu). Untuk mempertahankan Distrik, Belanda membuat Benteng yang disebut Benteng Kawalo. Benteng Kawalo berada di tepi danau Lekitobi dan berada pada ketinggian kurang leih 50 meter. Keadaan benteng tinggal pondasi yang tersisa dan sebagian sudah berubah menjadi semak belukar. Menurut Camat Taliabu Barat, dahulu terdapat beberapa bangunan dan kuburan di lokasi benteng. Pada bagian bawah di pinggir danau terdapat tinggalan 2 buah meriam, dengan panjang sekitar 70-80 cm.
Dalam hasil wawancara dengan Pak Bunga Harun Kimlaha mengatakan bahwa dalam komunitas Suku Mange nama Taliabu terdirri atas kata Ta Lia Bu. Ta yang artinya Tarnate, Lia yang artinya tali atau pengikat dan Bu yang artinya Buton. Sehingga Taliabu dimaknai sebagai pertalian antara Ternate dan Buton, (Pak. Bunga Harung Kimlaha, Padang Tenga, 20/12/2009). Sedangkan nama dari Suku Mange, Mange diartikan sebagai sebagai orang atau masyarakat yang tidak mengenal pri kemanusiaan dan tidak tahu apa-apa (alefuru). Dalam tinjau histori kehidupan Masyarakat Mange pada zaman dahulu mereka saling membunuh, apalagi bertemu dengan orang yang mereka tidak kenal atau orang baru, itu dianggap sebagai musuh yang menganggu, (Yance Kimlaha, Bakiki, 14/12/2009)


Sumber: www.helika-taliabu.bogspot.com

Kamis, 17 Januari 2013

KEKUASAAN TAMBANG DI NEGRI TALIABU

MENUNTUT HAK
BERUJUNG DI BALIK JERUJI BESI
Kehadiran tambang di Taliabu lagi-lagi menimbulkan masalah besar buat masyarakat Taliabu. Awal kehadirannya yang tidak melalui prosedur/mekanisme penambangan di Taliabu merupakan masalah bagi warga Taliabu karena tidak melakukan sosialisasi terhadap masyarakat Taliabu tentang AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Sekarang ini, kita dikejutkan oleh kejadian dari kehadiran tambang di Taliabu yang seharusnya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Taliabu ternyata berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi dilapangan. Fakta real yang ada pada masyarakat Desa Todoli dan Desa Tolong menunjukkan bahwa tanah mereka telah digusur oleh pihak investor tambang tanpa ada pembicaraan awal terhadap penggusuran. Ironisnya lagi, tanah mereka yang digusur tidak mendapatkan ganti rugi dari pihak investor tambang.

Penggusuran lahan masyarakat Desa Todoli dan Desa Tolong menimbulkan riak keras dari masyarakat setempat dengan melakukan aksi demonstrasi yaitu pemboikotan jalan lintas Taliabu (dari Kecamatan Lede menuju Kecamatan Gela). Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh 27 orang warga Desa Todoli dan Desa Tolong tersebut pada akhir Desember 2012 berakhir dramatis bagi demonstran. Kenapa tidak, mereka menuntut hak atas tanah mereka yang digusur oleh pihak investor tambang di Taliabu berujung dibalik jeruji besi.

Ini adalah berita duka buat kita semua warga Taliabu karena masyarakat Taliabu yang merupakan keluarga, kerabat kita telah diperlakukan tidak adil oleh pihak kepolisian. Pihak kepolisian dalam hal ini Kepolisian Sektor (POLSEK) Bobong telah menahan 3 orang warga yang telah melakukan demonstrasi. Pertanyaan kemudian adalah, apakah aksi demonstrasi dalam upaya menuntut hak itu adalah kejahatan ?

Kondisi penahanan masyarakat Taliabu; Desa Todoli dan Desa Tolong ini oleh kepolisian adalah kesalahan. Bisa jadi ini adalah bentuk konspirasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian (POLSEK) Bobong dengan pihak tambang di Taliabu. Jika bukan karena konspirasi alasan apa lagi yang harus digunakan oleh pihak kepolisian untuk menahan masyarakat yang tidak bersalah. Masyarakat Desa Todoli dan Desa Tolong ini tidak bersalah karena menuntut hak atas tanahnya yang telah dirampas oleh pihak tambang, lantas kenapa mereka ditahan ? Bukankah menyampaikan aspirasi/pendapat dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 (baca; pasal 28 E ayat 3).

Kepolisian yang hari ini kita anggap sebagai lembaga penegak hukum yang bersifat independen ternyata telah mencederai dirinya dengan berpihak sama investor tambang. Kemana mereka; masyarakat Taliabu akan berteduh mencari perlindungan jika lembaga penegak hukum kita sudah demikian ?

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kabupaten Kepulauan Sula yang seharusnya bisa membantu masyarakat untuk mendapatkan keadilan dimata hukum terkesan tidak dapat melakukan apa-apa terhadap kejadian diatas karena sampai hari ini belum ada tindakan real dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kabupaten Kepulauan Sula yang membuktikan eksistensi mereka sebagai perpanjangan lidah dari masyarakat dalam menyampaikan keluh kesahnya.
Melihat kondisi yang menyedihkan diatas, apa yang harus kita perbuat ? Bukankah membiarkan ketidakadilan sama halnya dengan mendukung ketidakadilan itu ? Sekali lagi, kondisi yang diatas adalah sebuah kesalahan. Menurut teori komunikasi Lenin; kesalahan jika dibiarkan terus menerus akan menjadi kebenaran mutlak !!! (SYARIS)

Selasa, 15 Januari 2013

Pilgub Maluku Utara Terancam Batal

TEMPO.CO, Ternate - Pemilihan Gubernur Maluku Utara terancam gagal dilaksanakan tahun ini. Alasannya, Komisi Pemilihan Umum Daerah Maluku Utara mengeluhkan minimnya anggaran dari pemerintah provinsi.
Ketua KPUD Maluku Utara Mulyadi Totopoho mengatakan, anggaran pemilihan gubernur Maluku Utara yang dibutuhkan KPUD Rp 100 miliar lebih. Namun yang diberikan pemerintah provinsi hanya Rp 25 miliar. Dengan bujet yang cekak itu, Mulyadi pesimistis pelaksanaan pilkada gubernur yang akan digelar tahun ini, tidak bisa berjalan mulus.
"Ini persoalan serius, seyogyanya menjadi perhatian,"kata Mulyadi kepada Tempo, Rabu 9 Januari 2013.
Mulyadi menjelaskan, bujet pilgub yang tersedia Rp 25 miliar  tidak cukup untuk membiayai kebutuhan seperti honorium petugas validasi data penduduk pemilih potensial, panitia pemilihan kecamatan, dan petugas kelompok panitia pemungutan suara. "Petugas lebih dari 300, tersebar di seluruh wilayah Maluku Utara. Honornya Rp 450 ribu hingga Rp 1 juta. Karena itu anggaran pilgub saat ini jauh dari ideal."
Meski begitu, mantan dosen hukum Universitas Khairun Ternate ini mengungkapkan, KPU secara institusi tetap menerima anggaran yang disediakan dan melaksanakan pemilihan gubernur. "Kita lihat saja nanti. Yang pasti KPU akan tetap bekerja secara independen melaksanakan pemilihan Gubernur," kata dia.
Sekretaris Provinsi Maluku Utara Madjid Husen mengatakan, pembahasaan anggaran pemilihan gubernur Maluku Utara sebenarnya merupakan pembahasan bersama antara pemerintah provinsi dengan DPRD. Karenanya itu, pengalokasian anggaran itu telah dikaji dan dibahas bersama. "Tidak ada niatan kami untuk tidak mensukseskan pemilihan gubernur," ujar Majid saat dihubungi Tempo.
Pemilihan gubernur Maluku Utara rencananya akan dilaksanakan 1 Juli 2013. Proses pemilihan ini akan melibatkan 700 ribu penduduk sebagai pemilih.

Keluarga Bupati Sula, Berebut Tahta di Pulau Taliabu


Dua adik Bupati Kabupaten Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus, yakni Zainal Mus, dan Aliong Mus dikabarkan mulai mengambil ancang-ancang mencalonkan diri sebagai calon Bupati Pulau Taliabu.
Zainal yang kini menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sula sudah mulai membangun wacana di tengah masyarakat, dan posko-posko pemenangan disetaiap kecamatan Pulau Taliabu, bahwa Ia akan maju sebagai calon Bupati Taliabu, meskipun Taliabu saat ini belum memiliki karataker Bupati dan jadwal pemilukada setempat belum ditetapkan.
Zainal mus, melalui pendukungnya yakni sejumlah pemuda Pulau Taliabu, mulai menyatakan sikap mendukung Ketua DPRD Kabupaten Sula itu menjadi Bupati Pulau Taliabu, meski pemilukada Bupati dan Wakil Bupati diprediksikan pada 2015 mendatang.
Risno pendukung Zainal, Jumat (04/01/2013) mengatakan, para pemuda di Pulau Taliabu siap mendukung Zainal Mus sebagai calon bupati Pulau Taliabu.
Hal ini merupakan suatu langkah positif meski pelaksanaan Pemilukada Pulau Taliabu masih jauh, namun terasa dekat dikalangan masyarakat.”Kita siap memenangkan Pak Zainal sebagai caolon Bupati Pulau Taliabu nanti.
Hal yang sama juga di tunjukan oleh Aliong Mus, Aliang sendiri saat ini menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maluku Utara. Melalui salah satu dukunngannya Nasrun membenarkan bahwa Aliong Mus saat ini telah melakukan konsilidasi di Desa-desa yang ada di Pulau Taliabu.
"Dukungan terhadap Aliong mus dating dari warga dan pemud-pemuda yang ada di Desa-desa Pulau Taliabu," kata Nasrun.

Senin, 07 Januari 2013

Infrastruktur Pelabuhan Pelni Taliabu Dirampungkan

Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula (Kepsul), Maluku Utara (Malut), merampungkan penyelesaian infrastruktur pembangunan jalan yang menghubungkan pelabuhan Pelni dengan Kota Taliabu dalam rangka meningkatkan arus perekonomian masyarakat setempat.

"Infrastruktur seperti jalan penghubung Desa Bobong dan Talo dan melewati Pelabuhan Pelni Taliabu, saat ini telah usai dirampungkan oleh pihak pekerja. Bahkan, proses pekerjaannya sudah berlangsung 80 persen terselesaikan," kata Kadis Perhubungan Pemkab Kepsul, Fahmi Alwi di Ternate, Rabu.

Menurut dia, jalan Bobong-Talo itu akan dibangun lebih cepat, karena sesuai dengan permintaan Dirjen Perhubungan Laut dan darat RI, agar supaya Kapal KM Tatamailau dapat melakukan pelayaran sampai di Taliabu.

Akibat, infrastruktur jalan yang belum memadai, akhirnya KM Tatamailau yang rencana akan mulai beroperasi Medio Februari tahun lalu batal karena hasil pantauan jalan darat belum memungkinkan untuk dipergunakan.

"Karena jalan darat belum seluruhnya dibersihkan terutama beberapa titik aliran air hidup, maka mereka (Menhub) membatalkan operasi pertama KM Tatamailau dengan rute Ternate, Sanana, Bobong dan menuju Banggai sampai pulau Sulawesi lainnya," katanya.

Ia mengatakan kalau tahun 2011 ini, pihak PU telah menganggarkan pembuatan jalan tersebut dengan panjang 320 KM. Hingga itu, dengan ruas jalan yang akan dibangun itu kemungkinan akan sampai pada pelabuhan Pelni terutama pintu masuknya.

"Dengan pembangunan jalan itu, maka sudah akan dicapai pintu masuk pelabuhan Pelni, selain pembangunan jalan menuju lokasi tersebut, lanjut mantan Kabag Keuangan ini pihaknya juga meminta untuk dilakukan pelebaran, karena tidak menutup kemungkinan jalan tersebut akan menjadi jalan utama yang mempunyai kesibukan tingkat tinggi.

"Kita minta untuk dilakukan pelebaran setelah jalan awal ini selesai di sirtu, sehingga bisa mendukung aktivitas perekonomian masyarakat setempat," katanya.

Ketika "disentil" persoalan kapal dirinya mengaku bahwa kapal itu adalah urusan nomor dua asal infrastruktur telah memadai maka pihaknya akan melakukan loby ke pusat setelah semua dialihkan untuk dikelola pihak kakanpel Sanana sendiri.

"Kita harus menyediakan infrastruktur terlebih dahulu, baru meminta kapal untuk masuk selain infrastruktur dirinya juga meminta agar pembebasan lahan dilakukan tanpa ada yang dirugikan. Karena hal ini menyangkut Taliabu ke depan.

Apalagi, Taliabu akan menjadi otonomi tersendiri lagi, untuk itu, diimbau pihak terkait juga agar pembebasan lahan dilakukan secepatnya. (ant/as)